Rencana untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara kembali diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikannya dalam Sidang Kabinet Paripurna bersama jajaran Menteri.
“Harus kita pastikan berjalannya investasi ini untuk menggeser pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi baru terbarukan,” ungkap Jokowi di Kantor Presiden, sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (17/11/2021).
Jokowi menegaskan bahwa kita harus harus memiliki komitmen untuk mengembangkan ekonomi hijau dan transisi energi baru terbarukan dalam pembangunan demi masa depan. “Serta juga pembangunan green industrial park di Kalimantan Utara yang juga menggunakan energinya dari hydro power juga betul-betul bisa direalisasikan dan dimulai,” tegasnya.
Dampak PLTU Batubara
PLTU selalu menjadi tetangga yang tidak ramah terhadap lingkungan dan masyarakat. Contoh nyata dari buruknya kualitas lingkungan akibat PLTU terjadi di Sumatera Barat. Adalah Sijantang Koto, desa kecil yang berjarak sekitar ±15 km dari pusat kota Sawahlunto menjadi saksi sejarah bagaimana dampak buruk dari pertambangan batubara dan PLTU. Setiap hari, masyarakat di daerah ini harus menghirup udara yang tercemar akibat asap dan abu terbang hasil pembakaran batubara di PLTU Ombilin yang lokasinya sama sekali tidak berjarak dengan pemungkiman masyarakat.
BACA JUGA: Peran Penting Laut dalam Atasi Krisis Iklim, Berikut Penjelasannya
Kualitas udara akibat pembakaran batubara di salah satu PLTU mulut tambang tertua di Indonesia ini menjadi sangat buruk. Abu yang berterbangan (Fly Ash) begitu pekat dan terasa, terhirup oleh pernafasan masyarakat dan menyebabkan penyakit Ispa. Pengelolaan limbah abu padat (Button Ash) juga sangat buruk, karena lokasi pembuangannya hanya berjarak beberapa meter dari jalanan umum dan keberadaanya juga dibiarkan menumpuk tidak jauh dari pemukiman. (baca: koran tempo, Kontroversi Abu Cerobong PLTU)
Pada 2017, dengan merujuk pada hasil pantau kualitas udara ambien, kondisi udara yang ada di wilayah sekitar PLTU Ombilin mengarah pada situasi berbahaya yang tidak lagi layak untuk dihirup oleh makhluk hidup. Kondisi ini berlanjut pada 2018, di mana asap polutan dari pembakaran batubara di PLTU ini berada empat kali lipat dari standar yang ditetapkan oleh Kementerian LHK.
Ambang batas yang digunakan oleh Kementerian LHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram/m3. Angka ambang batas Kementerian LHK ini juga 3 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram/m3.
Dari berbagai penelitian, tidak satu studi lingkungan yang menyebutkan tambang batubara dan pembakarannya memberikan dampak baik terhadap kehidupan dan merekomendasikan kegiatan pertambangan dan pembakaran harus tetap dilanjutkan. Batu bara menimbulkan masalah karena pengambilan, pengolahan, dan penggunaannya merusak lingkungan. Produksi batu bara dilakukan dengan membabat hutan dan menggali tambang. Proses produksinya mencemari tanah, air, dan udara.
Greenpeace Indonesia (2015) melalui penelitiannya berjudul Kota Batubara dan Polusi Udara mengungkapkan bahwa polusi udara adalah pembunuh senyap yang menyebabkan 3 juta kematian dini (premature death) di seluruh dunia. Pembakaran Batubara adalah salah satu kontributor terbesar polusi ini yang menyebabkan peningkatan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan.
Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Pembakaran Batubara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas), yang memicu perubahan iklim. Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO2, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5. Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap bahaya kesehatan akibat partikel halus (PM2.5) dari emisi udara tersebut. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. (baca: Mongabay, Angin Surga Beralih ke Energi Terbarukan Kala Pengembangan Masih Bertumpu Batubara
Listrik Bersih
Keinginan kita untuk menikmati energi listrik bersih kian menemukan titik terang. Pada 2060, Pemerintah merencanakan seluruh pembangkit listrik di Indonesia ditargetkan menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang merupakan energi bersih.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif salam sambutannya menyampaikan, pemerintah menetapkan arah kebijakan energi nasional berupa transisi dari fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT) dilakukan dalam rangka mendukung transformasi ekonomi hijau yang menitikberatkan pada perlindungan lingkungan melalui pembangunan rendah karbon.
“Arah kebijakan energi nasional ke depan adalah transisi dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan sebagai energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan,” ujar Arifin sebagaimana dikutip dari Media Indonesia, (21/10/21).
BACA JUGA: Implementasi Pajak Karbon: Niatnya Selamatkan Bumi, Tapi Apakah Akan Membebani Masyarakat Marjinal?
Sebelumnya, Arifin juga mengatakan mengatakan bahwa Indonesia diberkahi dengan berbagai sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mencapai 417 giga watt (GW), namun pemanfaatannya baru 2,5%. EBT berperan penting tidak hanya untuk menyikapi perubahan iklim, namun juga menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Indonesia juga berkomitmen mengurangi gas rumah kaca 29% dari business as usual. Kami komitmen kurangi gas rumah kaca 300 juta ton pada 2030,” ujarnya sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia, (18/2/21).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini menuturkan bahwa PT PLN telah menyusun peta jalan (road map) untuk itu. “Pada 2045 porsi pembangkit EBT sudah mendominasi total pembangkit. Dekade berikutnya (2055-2060) seluruh pembangkit listrik di Indonesia berasal dari EBT,” ujarnya dalam diskusi Mengurai Hambatan Investasi Energi Terbarukan, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia.
Sementara dari Pemerintah untuk mencapai energi listrik bersih tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan terdapat tiga hal yang dibutuhkan dalam mekanisme transisi energi. Pertama, pembiayaan untuk penghentian lebih cepat operasional pembangkit tenaga listrik batu bara agar beralih ke sumber energi terbarukan.
“Kami sudah melakukan percakapan dengan semua pembangkit listrik yang berbasis batu bara. Sejauh ini, menurut saya diskusi berjalan dengan baik dalam memberikan pemahaman sekaligus bagaimana kita akan merancang kebijakan bersama,” kata Menkeu dalam World Bank Group Event, Selasa (12/10/21).
Kedua, dibutuhkan pendanaan untuk membangun energi baru terbarukan karena permintaan akan terus bertambah. “Pendanaan menjadi penting karena Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mengakselerasi transisi energi dari yang berkarbon tinggi menuju energi yang lebih bersih,” ujar Menkeu.
Ketiga, mekanisme transisi energi perlu memperhatikan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya karena akan berdampak pada kehilangan pendapatan. “Kalau kita tidak memperhatikan sumber daya manusianya, maka transisi ini tidak inklusif dan tidak memberikan dukungan kepada mereka. Tenaga kerja akan menjadi populasi yang paling terpengaruh dengan kehilangan pendapatan langsung dari transisi ini,” kata Menkeu.