Laporan Rainforest Foundation Norway (RFN) tentang Status Hutan Tropis Dunia 2020 menyebutkan bahwa luas hutan hujan tropis dunia pada 2019 seluas 9.529.575 km2 menyusut dari luas asli yang diperkirakan 14.580. 513 km2.
Sedangkan luas hutan hujan tropis Indonesia pada 2019 adalah 843.200 km2 menurun dari luas 938.000 km2 tahun 2001. Indonesia memiliki luas hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia setelah Kongo (kedua) dan Brazil (pertama). Di tingkat Asia, Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas.
Hutan hujan tropis alami merupakan ekosistem unik dengan tiga manfaat penting:
- Hanya mencakup 6,5% dari daratan permukaan Bumi, namun menampung lebih dari separuh keanekaragaman biologis dunia. Tidak ada ekosistem lain di Bumi bisa cocok untuk keanekaragaman biologis hutan ini.
- Menyimpan lebih banyak karbon dalam biomassa hidup dibandingkan ekosistem lainnya di planet ini. Jadi, menghentikan deforestasi dan degradasi hutan hujan tropis adalah kunci agar hutan hujan tropis mampu memperlambat pemanasan bumi, lautan dan atmosfer akibat kegiatan manusia.
- Mendinginkan udara dan menciptakan penguapan lebih efektif dari perairan terbuka. Sehingga menciptakan apa yang disebut “pompa biotik”, yang mengamankan ribuan kilometer curah hujan ke daratan dari lautan. Ini mempengaruhi pola curah hujan di seluruh dunia.
Hutan hujan tropis menerima lebih dari 2,5 meter curah hujan per tahun dengan sedikit variasi musim tumbuh dalam iklim yang mendukung secara deterministik hutan hujan. Iklim adalah kekuatan pendorong utama ekosistem hutan hujan tropis ini untuk berkembang.. Iklim hutan hujan semacam ini terutama ditemukan di bagian interior Amazon dan Asia Tenggara.
BACA JUGA: Program Food Estate Mengancam Deforestasi dan Komitmen Iklim Indonesia
Banyak hutan yang mengalami degradasi (penurunan kualitas) juga dapat pulih dengan relatif cepat jika dilindungi, namun yang mengalami deforestasi (penebangan hutan) bisa memakan waktu berabad-abad. Mendefinisikan dan memantau hutan alami tidak meremehkan nilai ekologis hutan terdegradasi, dan tindakan untuk melindungi hutan alami seharusnya tidak merusak upaya saat ini atau masa depan untuk menghentikan deforestasi di hutan alam pada umumnya. Mengukur dan mengekspos kondisi nyata terakhir hutan alam dunia, merupakan alat penting untuk memandu kebijakan yang lebih peduli pada upaya konservasi hutan secara umum.
Sementara itu, data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan.
Dalam rangka melaksanakan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung sebagai upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2021 menetapkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tahun 2021 Periode I (PIPPIB), seluas 66.182.094 ha. Penyusunannya berdasarkan PIPPIB Tahun 2020 Periode II, dengan mengakomodir pemutakhiran data pada enam bulan terakhir.
Namun, Madani Berkelanjutan memandang bahwa setelah berlakunya UU Cipta Kerja, kebijakan tersebut mengancam hutan alam, salah satunya hutan alam yang berada di dalam wilayah izin perkebunan sawit dan berisiko terdeforestasi. UU Cipta Kerja menyatakan bahwa Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah atau diambil alih oleh negara.
Ketentuan ini semakin mengancam keberadaan hutan alam yang berada di wilayah perkebunan sawit, khususnya yang telah diberikan hak atas tanah (HGU) karena dalam jangka waktu maksimal 2 tahun hutan alam tersebut harus ditebang untuk dibangun perkebunan sawit. Sementara itu, di 9 provinsi Pilkada Serentak 2020 lalu, luas hutan alam yang berada di HGU perkebunan sawit mencapai 150 ribu hektare, terluas di Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah.
BACA JUGA: UU Iklim – Bisakah Indonesia Seperti Denmark?
Untuk melindungi aset hutan alam tersisa di daerahnya, Pemerintah Provinsi dapat meninjau ulang berbagai perizinan perkebunan sawit yang di dalamnya masih terdapat hutan alam dan tidak meneruskan izin lokasi jika masih terdapat hutan alam di dalamnya. Pemerintah Daerah juga dapat bekerja sama dengan Pemerintah Pusat untuk meninjau kembali izin-izin perkebunan sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan yang belum dibangun dan di dalamnya masih terdapat hutan alam yang masih produktif sebagaimana mandat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.(*)