JAKARTA, 28 Juli 2021 – Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC).
Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.
Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim.
“Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut.”
Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.
BACA JUGA: Bagaimana Nasib Pangan Kita Setelah Terdampak Krisis Iklim?
“Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.
Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya keterbukaan data dan informasi serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat dan sektor swasta guna berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim.
“Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia,” ungkap Nadia.
Nadia menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam.
“Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut.
“Ada sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan,” tukasnya.
Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amalia menambahkan pentingnya memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan. Tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan.
“Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.
Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak.
BACA JUGA: Sanggupkah Indonesia Turunkan Emisi Global dengan Komitmen NDC?
Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, bagaimana memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut.
“Dan yang terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy.
Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis.
“Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan,” tutupnya.(*)
Berita ini telah dirilis di Riau Editor.