Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memperkenalkan istilah pajak karbon. Pajak karbon tersebut diperkenalkan sebagai bentuk Komitmen Indonesia untuk ikut dengan seluruh negara di dunia untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
Lahirnya ketentuan pajak karbon tersebut merupakan bentuk upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan komitmen tersebut melalui perdagangan karbon (carbon trading) yang juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Kebijakan tersebut mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), serta kesiapan sektor dan kondisi ekonomi.
“Kita akan meng-introduce cap and trade yaitu sektor tertentu, seperti PLTU batubara, diberikan cap dulu. Bahwa Anda boleh mengeluarkan atau mengemisikan CO2 level tertentu. Ada capnya,” ujar Menkeu sebagaimana dikutip dari website Kementerian Keuangan pada (19/11/2021)
BACA JUGA: Peran Penting Laut dalam Atasi Krisis Iklim, Berikut Penjelasannya
Mengenai kriteria bentuk sektor yang dikenakan pajak karbon, pernyataan serupa juga disampaikan oleh Analis Kebijakan Madya BKF Noor Syaifudin dalam acara Diskusi Publik: Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon dan Kesiapan Implementasinya (22/10/21) mengatakan bahwa Pajak karbon akan dikenakan atas barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang mengemisi karbon dan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Namun, pajak karbon tidak serta merta dikenakan pada aktivitas yang mengemisi karbon tersebut. Ada batas emisi karbon yang tidak dikenakan pajak karbon atau disebut cap.
“Skema cap and tax ini menarik karena mengkombinasikan antara skema pajak karbon dengan perdagangan karbon. Penerapan pajak karbon ditujukan untuk menjembatani munculnya perdagangan karbon,” tutur Noor.
Dalam acara yang sama, Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal BKF, Pande Putu Oka Kusumawardhani mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oka memaparkan Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan akan risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut. Ia memberikan pemaparan dengan menunjukkan dara nyata berupa hasil kajian Bappenas pada 2021 yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kenaikan permukaan air laut 0,8-1,2 cm per tahun, sementara 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir. Indonesia juga mengalami tren kenaikan suhu sekitar 0,030 C per tahun.
“Dampak yang lebih berat dari perubahan iklim antara lain kelangkaan air, kerusakan sistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, kelangkaan pangan, juga hilangnya keanekaragaman hayati,” ujar Oka.
Dampaknya terhadap masyarakat Marjinal
Walaupun Pajak Karbon berdampak positif terhadap perubahan iklim, tapi kebijakan tersebut juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap masyarakat marjinal.
Adanya pajak karbon akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan bakar fosil sehingga berdampak juga pada harga pokok produksi beberapa sektor ekonomi yang menggunakan bahan bakar tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah konsumsi rumah tangga.
Hal ini terjadi karena ketika negara yang terbiasa dengan energi ekstraktif seperti bahan bakar fosil mencoba meninggalkan itu semua melalui penerapan pajak karbon maka jelas gejolak akan terjadi, inflasi meningkat, harga barang mungkin akan meroket, dan mereka yang tidak siap akan terkena imbasnya.
Dampak dari adanya pajak karbon tersebut juga diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (15/11) mengatakan bahwa penerapan pajak karbon (carbon tax) berpotensi memberi dampak pada tambahan biaya dan harga baik di sektor hulu maupun hilir bagi pemasar energi yang menghasilkan karbon.
BACA JUGA: Komitmen Partai Politik Hadapi Perubahan Iklim
“Ini tentu akan menyebabkan kenaikan harga baik di sisi hulu maupun di hilir bagi pemasar yang menghasilkan karbon“, ungkap Arifin sebagaimana dikutip dari Kontan (19/11/2021).
Kenaikan harga pokok produksi inilah yang nantinya juga akan menyebabkan harga jual barang mengalami kenaikan (inflasi). Inflasi yang terjadi di beberapa sektor ekonomi pada akhirnya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat golongan marjinal.
Oleh sebab itu, penerapan pajak karbon harus disertai dengan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat marjinal. Penerapan kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan kebijakan dari pemerintah untuk mengurangi dampak negatif dari pengenaan pajak karbon terhadap masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.