Presiden Joko Widodo meninjau sebuah kendaraan listrik dan alat pengisi daya baterainya saat meresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) yang menandai pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat, Rabu 15 September 2021. Proyek pembangunan pabrik baterai mobil listrik pertama di Asia Tenggara ini merupakan realisasi investasi konsorsium LG dan Hyundai yang terdiri atas Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobis dan LG Energy Solution. ANTARA FOTO/Biro Pers Media Setpres/Agus Suparto/Handout

PRESIDEN Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan pada 2019. Peraturan tersebut mengatur pemberian insentif kepada produsen yang menjual dan memproduksi kendaraan listrik.

Selain itu juga terbit revisi atas Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang bisa menurunkan harga mobil listrik. Kedua aturan ini dikeluarkan dalam upaya pemerintah mendorong penggunaan kendaraan bermotor beremisi karbon rendah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 (https://www.kompas.com; 17/08/2019).

Sebagai bagian dari strategi tersebut, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi kendaraan listrik di Indonesia akan mencapai lebih dari 20 persen dari total produksi kendaraan bermotor pada 2025. Ada dua jenis kendaraan listrik yang akan beredar di pasar otomotif di Indonesia yang dibedakan dari sumber energinya. Jenis pertama adalah kendaraan yang memiliki mesin listrik dari baterai yang dicolok (plug-in). Ada dua tipe dari mobil listrik jenis colok ini yaitu yang menggunakan baterai saja dan yang menggunakan baterai dan juga bensin. Jenis kedua adalah kendaraan listrik hibrida yang digerakkan oleh bahan bakar bensin dan baterai kecil yang mendapatkan tenaga listriknya dari pemanfaatan tenaga kinetis yang dihasilkan saat pengereman.

Namun kendaraan listrik atau electric vehicles (EV)  tidaklah sempurna karena mereka memiliki masalah pencemaran tersendiri. Khususnya, baterainya mengandung komponen, seperti litium, yang membutuhkan banyak energi untuk diambil dan disaring. Ketika kendaraan listrik diisi dengan listrik bertenaga batubara, juga menjadi lebih buruk bagi lingkungan daripada mobil berbahan bakar bensin konvensional.

Sepanjang sumber energi untuk pengisian daya pada baterai mobil listrik masih menggunakan sumber listrik dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, maka polusi udara sebenarnya masih tetap dihasilkan.

BACA JUGA: Bagaimana Perhutanan Sosial Berkontribusi pada Penurunan Emisi

Dengan kata lain, penggunaan mobil listrik hanya sebatas mengurangi tingkat polusi udara di jalanan ketika mobil listrik itu dikendarai, namun bisa saja tetap menyebabkan polusi udara dari sumber lain di tempat lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan pula sumber listrik yang juga ramah lingkungan, misalnya yang bersumber dari panel surya, turbin bayu maupun nuklir. Artinya, pengembangan dan penggunaan mobil listrik harus pula dibarengi dengan penggunaan sumber-sumber energi bersih yang terbarukan (https://www.mongabay.co.id; 22 November 2020).

Masalah lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah baterai. Mobil listrik mengandalkan pasokan energinya dari energi yang disimpan dalam baterai ukuran besar, yang notabene membutuhkan ongkos lingkungan cukup tinggi dalam proses produksinya. Baterai yang digunakan mobil listrik terbuat dari elemen logam tanah jarang (rare earth elements), seperti antara lain litium, nikel, kobalt atau grafit.

Untuk mendapatkan elemen logam tanah bagi keperluan pembuatan baterai mobil listrik ini dibutuhkan proses penambangan. Dan aktivitas penambangan merupakan aktivitas yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan masif.

Ancaman Bahan Baterai

Pemerintahan Joko Widodo memberi mandat ke perusahaan pelat merah yang tergabung dalam PT Industri Baterai Indonesia (IBC), konsorsium empat BUMN, tiga lainnya adalah Mining and Industry Indonesia (MIND IND), PT Pertamina, dan PT PLN, untuk mengelola industri baterai kendaraan bermotor listrik dari hulu hingga hilir. Pada 29 April 2021, perusahaan meneken kerjasama dengan konsorsium baterai LG dari Korea Selatan, dengan nilai investasi 9,8 miliar dolar AS. Sekretaris Korporat PT Antam, Yulan Kustiyan, berkata dalam skema pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik, perusahaan terlibat dalam pengolahan dan pemurnian nikel, bahan baku baterai, hingga paket sel baterai.

90 persen sumber nikel Indonesia tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Laporan tahunan Badan Pusat Statistik menggambarkan produksi bijih nikel di Halmahera Timur sebagai salah satu sumber nikel juga naik drastis. Pada 2006, hasil pertambangan bijih nikel mencapai 728.460 metrik ton, sedangkan pada 2013 sudah mencapai 9.871.689 metrik ton. Disinyalir angka ini merangkak naik seiring permintaan pasar nikel (https://tirto.id; 9 Juni 2021).

Gembar-gembor mobil listrik ramah lingkungan justru tergambar sebaliknya di Halmahera Timur, terutama di kawasan teluk Kecamatan Maba yang jadi lahan tambang nikel. Pada Mei lalu, limbah PT Antam di Teluk Mornopo pun mengalir ke laut.

Bagaimana bisa ada klaim kendaraan listrik bebas polusi dan ramah lingkungan di perkotaan jika sejak dari pembuatan bahan bakunya sudah mencemari lingkungan di pedesaan yang dekat dengan penambangan bahan baterai (nikel). Orang kota menikmati udara bersih tanpa polusi [dengan kendaraan listrik], orang kampung menerima segala risikonya.

BACA JUGA: Kunci Capaian Implementasi NDC di Sektor Kehutanan

Masih soal baterai, seperti juga penggunaan baterai pada perangkat-perangkat elektronik lainnya, baterai mobil listrik memiliki batas usia pemakaian. Lewat dari batas usia penggunaan, baterai mobil listrik akan tidak berfungsi dan harus diganti dengan yang baru. Lantas, kemana baterai yang lama harus dibuang?

Ini juga dapat menjadi persoalan serius bagi lingkungan. Baterai mobil listrik yang sudah tidak terpakai masuk ke dalam kategori sampah elektronik. Penanganan sampah elektronik tidak boleh sembarangan dan serampangan. Harus ada prosedur khusus untuk menangani sampah elektronik. Penanganan yang sembarangan dan serampangan akan sangat membahayakan lingkungan dan kesehatan.

Tentu saja, upaya untuk mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan perlu terus dilakukan. Namun, harus pula diikuti dengan langkah-langkah inovatif-solutif untuk menekan faktor-faktor yang kemungkinan masih memberi celah bagi terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan di tempat-tempat lain sebagai buntut dari penggunaan kendaraan listrik.

Juga perlu ada regulasi yang disiapkan agar limbah baterai dari mobil listrik tidak menjadi masalah baru nantinya atau teknologi yang mampu mengurangi limbah dan daur ulang dari baterai yang ada.(*)

Sumber:


https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/17/074303565/dilema-mobil-listrik-dan-emisi-gas-rumah-kaca; 17/08/2019 

https://www.mongabay.co.id/2020/11/22/mobil-listrik-transportasi-masa-depan-apakah-ada-dampak-bagi-lingkungan/; 22 November 2020

https://tirto.id/mimpi-punya-mobil-listrik-mengorbankan-lingkungan-halmahera-timur-ggGd; 9 Juni 2021