Setiap orang tentu mendambakan hidup dalam suasana damai. Dalam studi hubungan internasional, perdamaian dimaknai secara sempit sebagai situasi dengan ketiadaan perang. Dari pengertian damai yang sangat sempit tersebut, dapat disimpulkan bahwa saat ini tidak ada satupun negara yang sedang berada dalam situasi damai. Mengingat seluruh negara yang berada di muka bumi ini sedang berada berperang melawan krisis iklim.
Kemenangan atas perang melawan krisis iklim ini tidak dapat dimenangkan oleh satu negara sebagaimana tugas kelompok perkuliahan yang tidak jarang hanya dikerjakan oleh satu orang, sedangkan lima lainnya menjadi freerider. Untuk itu, tidak kalah penting bagi Indonesia untuk menengok ambisi dan komitmen negara lain dalam tugas kelompok ini untuk dijadikan motivasi supaya tidak menjadi freerider dalam upaya memerangi krisis iklim ini dan negara yang bisa dijadikan sumber motivasi salah satunya adalah Brazil.
BACA JUGA: Langkah Selandia Baru Menuju Net Zero Emission
Brazil merupakan salah satu negara dengan portofolio penyedia energi listrik terbersih di dunia. Sepanjang 2018, sekitar 65 persen pasokan listriknya berasal dari proyek pembangit listrik tenaga air, dan lebih dari 15 persen berasal dari pembangkit listrik tenaga angin, surya, dan biomassa.
Komitmen Brazil untuk memproduksi tenaga listrik dari energi terbarukan tersebut tentunya akan terus berkembang mengingat hingga kini pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga surya baru mencakup masing-masing 8 persen dan 0,5 persen dari seluruh pasokan listrik Brazil.
Walaupun demikian, penggunaan energi baru dan terbarukan sebagai penyedia tenaga listrik tidak lantas dapat menjadikan Brazil sebagai negara yang dapat mencapai target netralitas karbon di waktu dekat. Nyatanya, untuk mencapai target nol emisi, terdapat berbagai sektor yang harus turut bersinergi untuk mewujudkannya – salah satu sektor terpenting adalah sektor hutan dan lahan.
Pada momentum Leaders Summit on Climate yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, Brazil melalui Presiden Jair Bolsonaro mendeklarasikan bahwa Brazil akan menghentikan deforestasi ilegal di tahun 2030 dan berupaya mencapai target nol emisi pada tahun 2050 – 10 tahun lebih cepat dibanding komitmen yang sebelumnya ia deklarasikan.
Meski demikian, deklarasi Presiden Bolsonaro pada forum bergengsi yang dihadiri oleh 40 kepala negara lainnya serta disiarkan langsung dan dapat diakses oleh seluruh orang di penjuru dunia tidak mendapatkan tanggapan positif dari domestik Brazil itu sendiri. Bahkan sebelumnya, 205 organisasi masyarakat sipil telah bergabung dan mengirimkan surat kepada pemerintahan Joe Biden untuk “berdiskusi dan berdialog dengan masyarakat sipil, pemerintah daerah, akademisi dan tentunya masyarakat adat – bukan dengan administrasi Bolsonaro; merupakan langkah terpenting dan paling strategis dalam mengembangkan proyek untuk menekan angka deforestasi dan pencapaian komitmen iklim Brazil.”
Selain itu, koalisi masyarakat sipil Brazil pun telah menyediakan data yang melandasi ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintahan Bolsonaro tersebut. Seperti bagaimana semenjak Presiden Bolsonaro duduk di kursi pemerintahan pada 2019, deforestasi Brazil meningkat sebesar menjadi seluas 1.108.800 hektare pada 2020 dari 750.000 hektare di tahun 2018 atau sebesar 48%.
Padahal, Brazil sebelumnya telah mampu menurunkan tingkat deforestasi hingga 80% di periode tahun 2002-2012. Situasi tersebut tentu krusial untuk diambil pelajaran oleh Pemerintah Indonesia yang kini memiliki beberapa hal yang tidak dimiliki oleh Brazil – keberhasilan menekan angka deforestasi di periode 2018-2019 dan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia pada pemerintahan Jokowi yang menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) masih diatas 60 persen.
Jika persaudaraan di dunia dapat didefinisikan dengan kepemilikan akan tutupan hutan, Brazil dapat diibaratkan sebagai kakak pertama Indonesia mengingat Brazil memiliki tutupan hutan hujan tropis terluas di dunia sedangkan Indonesia berada di peringkat ketiga.
BACA JUGA: Abai Hutan, UU Cipta Kerja Berpotensi Tingkatkan Deforestasi
Sesuai dengan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, seorang kakak pertama memiliki beban moral untuk menjadi contoh bagi adik-adiknya. Meski demikian, dari situasi yang telah dijelaskan diatas, Brazil sepertinya belum mampu untuk dianggap sebagai kakak teladan dalam bidang pengelolaan hutan dan lahan. Disinilah kemudian Indonesia seharusnya dapat mengambil peran sebagai kakak yang memberikan contoh yang baik kepada Brazil dan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lainnya.
Keberhasilan Indonesia untuk menekan angka deforestasi pada periode 2018-2019 serta tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia pada pemerintahan Jokowi seharusnya dijadikan sebagai modal untuk meningkatkan ambisi iklim Indonesia dalam meminimalisir angka deforestasi di tahun-tahun berikutnya – yang saat ini masih memberikan kuota deforestasi sebesar 350.000 hektare per tahun. Tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia ini juga tentu dapat dipergunakan sebagai safety net bahwa seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan mendukung dan berusaha bersama pemerintah untuk menjalankan program yang dapat membawa Indonesia mencapai target nol emisinya.
Lalu pertanyaan terpentingnya, siapkah Indonesia menjadi kakak yang menjadi teladan saudara-saudaranya?