Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Pada 14 April 2020 Badan Legislatif (Baleg) DPR menggelar rapat kerja perdana bersama pemerintah membahas draft RUU Cipta Kerja. Pembahasan ini mengundang banyak kritik karena seharusnya DPR fokus terhadap penanganan pandemi dan membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Berkaitan dengan komitmen iklim Indonesia 2030, RUU Cipta Kerja berpotensi menggagalkan komitmen tersebut.

Beberapa pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi menggagalkan komitmen iklim Indonesia adalah Pasal 37 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 18 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimana batas minimal 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau dihapus; Pasal 30 angka 14 mengenai perubahan terhadap Pasal 45 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dimana ketentuan mengenai kewajiban memiliki Izin Lingkungan, kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan kesesuaian perkebunan sebelum mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dihapus; dan Pasal 30 angka 1 mengenai perubahan terhadap Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dimana penetapan batasan luas minimum dan maksimum penggunaan lahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan tidak perlu lagi mempertimbangkan kesesuaian ruang, ketersediaan lahan, dan kondisi geografis.

BACA JUGA: Seberapa Besar Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia?

Kajian Madani menunjukkan 5 risiko yang akan terjadi jika RUU Cipta Kerja tetap disahkan. Pertama, ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi. Provinsi- provinsi tersebut adalah:

  1. Riau, hutan alamnya terancam hilang pada tahun 2032 seluas 1.600.224,47 hektare.
  2. Jambi, hutan alamnya terancam hilang pada tahun 2038 seluas 1.046.299,18 hektare.
  3. Sumatera Selatan, hutan alamnya terancam hilang pada tahun 2038 seluas 810.732,24 hektare.
  4. Bangka Belitung, hutan alamnya terancam hilang pada tahun 2054 seluas 224.992,27 hektare.
  5. Jawa Tengah, hutan alamnya terancam hilang pada tahun 2056 seluas 100.391,08 hektare.

Kedua, ada tujuh provinsi terancam  kehilangan hutan alam di luar PIPPIB dengan luasan terbesar (baca: diluar hutan yang telah dilindungi). Provinsi-provinsi tersebut adalah:

  1. Kalimantan Selatan, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2020 seluas 13.446,64 hektare.
  2. Jambi, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2020 seluas 18.418,66 hektare.
  3. Sumatera Barat, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2030 seluas 254.875,63 hektare.
  4. Kalimantan Barat, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2032 seluas 1.026.612,16 hektare.
  5. Aceh, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2038 seluas 343.288,93 hektare.
  6. Nusa Tenggara Barat, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2038 seluas 85.805,71 hektare, dan
  7. Kalimantan Tengah, terancam kehilangan hutan alam yang belum dilindungi PIPPIB pada tahun 2056 seluas 3.506.136,05 hektare.

Ketiga, kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare yang tidak boleh terlampaui untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) atau Komitmen Iklim Indonesia tahun 2030 di sektor kehutanan akan terlampaui pada tahun 2025, dengan dimasukkannya pasal-pasal yang berpotensi memicu deforestasi dalam RUU Cipta Kerja. Secara rata-rata, laju deforestasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2018 adalah 688.844,52 hektare/tahun. Jika disimulasikan nilai rata-rata tersebut sebagai nilai deforestasi, maka pada tahun 2025 Indonesia akan melampaui kuota deforestasi untuk mencapai target NDC tahun 2030.

Keempat, kesempatan menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektare yang terlanjur berada dalam perkebunan sawit akan hilang. Dan jika terjadi ,maka komitmen iklim Indonesia pada tahun 2030 juga akan gagal tercapai. Karena Pasal 37 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 18 UU Kehutanan yang mengatur batas minimal 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau dihapus sehingga berpotensi tidak ada dorongan lagi bagi daerah untuk menyelamatkan hutan alam dalam izin sawit.

BACA JUGA: Madani Monthly Political Updates: RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, WHO Bicara Sawit, dan Permendag No.15 Tahun 2020.

Selain itu, target konsumsi biodiesel tahun 2024 sebagaimana tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 17,4 juta kiloliter berpotensi mendorong ekspansi tutupan lahan sawit yang saat ini seluas 16,3 juta hektare. Apabila upaya untuk memenuhi target tersebut hanya didapatkan dari ekstensifikasi, maka skenario pertama 3 akan membutuhkan tambahan lahan sebesar 7,3 juta hektare (skenario produktivitas rendah), 6,6 juta hektare (skenario produktivitas menengah), atau 3,1 juta hektare (skenario produktivitas tinggi). Sedangkan skenario kedua akan membutuhkan tambahan
lahan sebesar 5,4 juta hektare (skenario produktivitas rendah), 4,9 juta hektare (skenario produktivitas menengah), atau 2,27 juta hektare (skenario produktivitas tinggi). Serta Kelima, tutupan hutan alam di 45 DAS terbesar di Papua Barat pada tahun 2058 terancam turun hingga 0%-20% jika Peta Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) dan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) tidak berhasil dilindungi. Namun, apabila hutan alam di dalam PIPPIB dan PIAPS berhasil dipertahankan 100%, maka persentase tutupan hutan alam di 32 dari 45 DAS terluas di 8 Kota/Kabupaten akan dapat dipertahankan di tingkat 50% meski mengalami penyusutan akibat laju rata-rata deforestasi di Papua Barat hingga tahun 2058.

Apabila lima hal tersebut terjadi, potensi terjadinya bencana alam semakin besar dan ini akan berdampak juga pada stabilitas ekonomi. Seharusnya DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Langkah bijak lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memperkuat upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dengan melakukan reformasi tata kelola di sektor sumber daya dan lingkungan hidup melalui pembentukan Undang Undang Pokok Pengelolaan Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Langkah lain adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan dan mengembalikan semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi di semua lini.