Dalam pidato yang disampaikan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada Jumat, 14 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa semua kebijakan harus selalu mengedepankan aspek lingkungan dan juga perlindungan terhadap HAM. Pernyataan tersebut tentu merupakan kabar gembira bagi perjuangan Indonesia dalam mencapai ambisi iklimnya yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk melawan krisis iklim yang kian di depan mata.
NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang berisi pernyataan komitmen banyak negara tentang upaya menghentikan Perubahan Iklim. Indonesia sendiri telah menetapkan komitmennya dalam NDC dengan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% dari BAU 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Tidak dapat dimungkiri bahwa selama ini, persoalan perubahan iklim tidak begitu menjadi pokok perhatian dalam setiap kebijakan pemerintah. Apalagi, di saat krisis pandemi melanda, persoalan perubahan iklim seolah terabaikan. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajaran jika pertanyaan tegas dari orang nomor satu di Indonesia untuk memberikan ruang hijau dalam setiap kebijakan pemerintah telah menghembuskan angin segar dalam melawan krisis iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan.
Sederhananya, krisis Iklim merupakan sebuah krisis yang hadir dan dirasakan oleh masyarakat di seluruh belahan dunia yang disebabkan perubahan iklim. Sedangkan perubahan iklim itu sendiri terjadi ketika suhu rata-rata bumi mengalami peningkatan dalam jangka waktu yang cukup lama lantaran gas rumah kaca yang terjebak di stratosfer.
Isu krisis iklim memang tidak seseksi pandemi Covid-19 untuk dibicarakan dalam ruang dialektika pada saat ini. Namun, bukan berarti isu tersebut tidak penting untuk diberikan perhatian yang sebanding dengan pandemi. Pasalnya, antrian panjang segudang persoalan mendesak seperti halnya krisis iklim juga tak bisa menunggu kegagapan melawan pandemi terobati.
BACA JUGA: Jurus Bangkit yang Ramah Lingkungan
Selama pandemi, tren perbaikan kualitas lingkungan juga tidak dapat dikatakan baik. Walaupun sempat terjadi perbaikan kualitas udara di sejumlah negara akibat penerapan lockdown, tapi upaya menggenjot kembali perekonomian membuat aktivitas masyarakat kembali seperti semula dan kerusakan lingkungan pun ikut kembali seperti sediakala. Tantangan inilah yang harus dijawab para pemangku kepentingan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Menjawab Tantangan Krisis
Pesimistis terhadap performa pemerintah dalam menangani krisis iklim memang masih sangat menyelimuti. Pasalnya, dengan krisis seberbahaya Covid-19 yang kini diderita, performa pemerintah dalam penanganannya tidak dapat dikatakan baik, apalagi dengan krisis iklim yang wujudnya masih dianggap samar-samar.
Terkait performa tersebut, Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah untuk Indonesia terkait penanganan Covid-19. Dalam hal ini, Oxford mencoba mengukur ketangkasan pemerintah di berbagai negara menghadapi Covid-19. Sebuah Index pun dirilis dengan mencakup empat penilaian: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).
Berdasarkan indeks tersebut, Oxford memberikan nilai indeks 43,91 bagi Indonesia. Ini artinya, nilai Indonesia berada di bawah 50 atau setara nilai D. Hasil tersebut pun menempatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai terendah di antara negara Asean bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja. Performa yang tidak menggembirakan tersebut jelas membuat banyak pihak meragukan kemampuan pemerintah menghadapi dalam menghadapi ancaman lainnya salah satunya krisis iklim. Bagaimana mungkin pemerintah dapat menangani krisis iklim dengan baik jika menangani rasa sakit yang saat ini sedang diderita saja tidak maksimal.
Sekarang, banyak pihak harus sadar, momentum krisis haruslah dibajak sebagai batu loncatan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Lompatan tersebut dapat dimulai dengan merubah model pembangunan ekonomi yang selama ini merusak lingkungan menjadi model yang lebih ramah lingkungan. Indonesia butuh pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.
BACA JUGA: Masyarakat Adat Dinilai Efektif Jaga Iklim Dunia
Dalam skenario pemulihan ekonomi nasional, setiap poinnya haruslah memperhatikan kondisi lingkungan sehingga tidak hanya berhasil memulihkan ekonomi pemerintah juga akan berhasil menjaga lingkungan dari kerusakan.
Kemudian, upaya penerapan kebiasaan baru juga terlalu dangkal jika hanya diartikan sebatas penerapan protokol kesehatan mulai dari berjaga-jarak (social distancing) hingga sekadar mencuci tangan menggunakan sabun. Penerapan pola kebiasaan baru adalah penerapan kebiasaan yang meninggalkan kebiasaan lama yang selama ini merusak. Kebiasaan itu dapat dimulai dengan hal-hal sederhana seperti tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai, tidak lagi menggunakan energi berlebihan bahkan penerapan energi baru terbarukan harus benar-benar diwujudkan, serta banyak hal-hal kepedulian lainnya terhadap lingkungan.
Seharusnya, setelah 75 tahun merdeka, Indonesia sudah menjadi bangsa kuat dalam banyak hal. Sudah sewajarnyalah berbagai macam krisis dapat dihadapi dengan baik karena Indonesia bukan bangsa yang cengeng.
Pepatah bijak mengatakan Pelaut Ulung tidak lahir dari lautan yang tenang. Jelas bahwa bangsa ini tidak bisa berdiam diri dan menyerah melawan berbagai macam krisis baik pandemi dan krisis iklim. Semua itu adalah ujian, untuk menghadapi ujian tersebut melakukan lompatan adalah cara terbaik agar bisa menangani krisis pandemi dan krisis iklim secara bersamaan. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Semua kebijakan haruslah kebijakan yang ramah lingkungan, begitulah kiranya arti dari komitmen presiden yang sesungguhnya. Kemerdekaan juga berarti bahwa Indonesia harus merdeka dari berbagai krisis, baik pandemi, krisis iklim, dan krisis lainnya.