Sudah empat tahun berlalu sejak Indonesia menyampaikan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016. Tentunya pemerintah berusaha mencapai komitmen itu. Berbagai kebijakan dan tindakan dilakukan untuk menurunkan emisi 29% dengan upaya sendiri dan 41% melalui kerjasama internasional pada 2030 sesuai komitmen NDC Indonesia.
Diantaranya dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan konservasi, serta meningkatkan akses kelola hutan untuk masyarakat.
Bagaimana kondisi emisi gas rumah kaca dari Indonesia yang saat ini? Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaku berhasil mengendalikan perubahan iklim atau menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Hal itu terbukti dari kesediaan para pihak membayar dan memberikan bantuan dana dengan melihat capaian penurunan emisi oleh Indonesia.
KLHK menyebutkan kalau komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim telah diakui oleh komunitas internasional. Terbukti Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) pada 18-21 Agustus 2020 menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil REDD+ Indonesia sebesar USD 103,8 Juta. Proposal yang diajukan KLHK ini menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016, dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
BACA JUGA: Aksi Mengurangi Karhutla Untuk Selamatkan Iklim
GCF adalah sebuah mekanisme pendanaan di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dibentuk untuk memberikan dukungan keuangan bagi negara-negara untuk mencapai target pengurangan emisi.
Pada 2 Juli 2020 Pemerintah Norwegia juga bersedia membayar 56 juta dolar AS atau 530 juta krona Norwegia atau sekitar Rp812,86 miliar kepada Pemerintah Indonesia atas keberhasilannya menurunkan gas buang/emisi karbon, penyebab pemanasan global.
Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral REDD+ (LoI) pada tahun 2010. Berdasarkan LoI tersebut, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon melalui penciptaan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, serta penegakan ketat dari UU tentang Kehutanan. Sebagai gantinya, pemerintah Norwegia akan membayar pemerintah Indonesia hingga 1 miliar dolar AS, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi.
Indonesia juga menggandeng Bank Dunia dalam hal pembayaran penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 2025 melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/ FCPF) yang dikelola Bank Dunia. Indonesia dan Bank Dunia menandatangani Dokumen ERPA (Emission Reduction Payment Agreement) pada 27 November 2020.
Melalui kesepakatan ini, Indonesia berpeluang untuk menerima pembayaran berbasis hasil (Results Based Payment/RBP) hingga 110 juta USD, untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbondioksida di Provinsi Kalimantan Timur. Kesepakatan ini juga membuka peluang Indonesia masuk “call option”, sebuah mekanisme untuk mengajukan kembali insentif RBP kepada World Bank apabila berhasil melampaui target pada akhir periode.
Pembayaran akan diterima secara bertahap sesuai target penurunan emisi yang berhasil dicapai. Pada 2021, target penurunan emisi sebesar 5 juta ton CO2 atau setara 25 juta USD, tahun 2023 sebesar 8 juta ton CO2 atau setara 40 juta USD, dan tahun 2025 sebesar 9 juta ton CO2 atau setara 45 juta USD, sehingga total mencapai 110 juta USD.
Apabila target tersebut tercapai, maka Kalimantan Timur akan berkontribusi untuk mencapai target penurunan emisi NDC Indonesia dari sektor berbasis lahan sekitar 17%, sebagaimana tercantum dalam dokumen ERPD (Emission Reduction Program Document, 2019).
Yayasan Madani Berkelanjutan, sebagai lembaga yang perhatian pada isu hutan dan perubahan iklim meminta agar pemerintah Indonesia bisa memaksimalkan dana GCF dan lainnya untuk menurunkan kerusakan hutan (deforestasi dan degradasi hutan). Jangan sampai kepentingan-kepentingan lain seperti UU Cipta Kerja menggerus program-program penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Perlu juga mengantisipasi siklus kebakaran hutan yang besar dan cenderung berulang per dua tahun agar tidak menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mencapai target NDC.
BACA JUGA: Kuatkan Pendampingan Perhutanan Sosial untuk Capai Target NDC
Indonesia harus bisa meningkatkan upayanya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Kemampuan Indonesia untuk menurunkan emisi nampak juga dengan membandingkan tingkat emisi dari sektor hutan pada tahun 2015 dan 2017. Terlihat fakta bahwa keberhasilan menekan angka emisi pada sektor hutan (FOLU) dan gambut (peat) berkontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi Indonesia. Tahun 2015 menunjukkan tingkat emisi dari sektor FOLU dan gambut yang tinggi sebesar 1,56 GT. Sementara pada tahun 2017, Indonesia berhasil secara signifikan mengurangi emisi dari FOLU dan gambut menjadi hanya 294 juta ton. Capaian penurunan emisi GRK nasional Indonesia tahun 2017 terhadap target penurunan emisi tahun 2017 sebesar 24,5%, naik dari 10,8% pada 2016.
Angka ini menunjukan sektor hutan dan gambut menjadi kunci dalam upaya Indonesia mencapai target NDC. Sementara sektor energi memiliki tingkat emisi yang relatif konstan tetapi meningkat secara gradual.. Bila Indonesia berhasil mempertahankan dan terus meningkatkan kinerja pengurangan emisi seperti tahun 2017, maka optimis Indonesia dapat mencapai target NDC sebesar 29 persen pada 2030. (*)