Apa Kabar Perundingan Iklim?
Setiap tahun, 197 negara yang tergabung dalam Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) bertemu dan merundingkan hal-hal penting untuk menstabilkan tingkat Gas Rumah Kaca di atmosfer bumi. Setelah Paris Agreement ditandatangani pada tahun 2015, para pemimpin dan negosiator dari berbagai belahan dunia melanjutkan perundingan agar Perjanjian tersebut dapat diimplementasikan.
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 atau COP-26 dijadwalkan untuk diselenggarakan di Glasgow, Inggris, tahun ini. Namun, akibat pandemi Covid-19, perundingan tersebut ditunda hingga 2021. Pertemuan Badan-Badan Subsider atau Subsidiary Bodies (SB52) juga ditunda hingga 2021, yang akan diselenggarakan di Bonn, Jerman.
Apa yang Penting?
Komitmen negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi GRK masih jauh dari cukup untuk menghindarkan kita dari bencana ekologis maupun bencana kemanusiaan. Oleh karenanya, seluruh negara tanpa terkecuali harus meningkatkan upaya mereka untuk mengurangi emisi GRK. COP-26 adalah momen bagi seluruh negara untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi dan rencana aksi iklimnya agar berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan Paris Agreement, yaitu membatasi kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5°C.
COP-26 adalah momen bagi seluruh negara untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi dan rencana aksi iklimnya.
Bagaimana Komitmen Indonesia?
Sebagai negara kepulauan yang rentan bencana ekologis, Indonesia selalu aktif dalam perundingan perubahan iklim dari tahun ke tahun. Indonesia bahkan sempat menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim ke-13 pada tahun 2007 di Bali. Sebagai bagian dari kontribusinya terhadap aksi iklim global, Indonesia telah menyerahkan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution) atau NDC Pertama pada tahun 2016, yang memuat target pengurangan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% jika ada dukungan internasional dari baseline emisi Business as Usual (BAU) pada 2030.
BACA JUGA: Merdeka dari Krisis Iklim
Menurut Climate Action Tracker, komitmen iklim dalam NDC Pertama Indonesia – tanpa melihat sektor hutan dan lahan – “Sangat Tidak Mencukupi” atau “Highly Insufficient” karena target pengurangan emisi di luar sektor kehutanan (terutama energi) dipasang terlalu rendah dan tidak kompatibel dengan target 2°C, apalagi 1,5°C. Indonesia diperkirakan akan mencapai sebagian besar target pengurangan emisinya dari sektor kehutanan sedangkan emisi dari sektor energi akan meningkat tajam.
Pada tahun 2020 ini, Indonesia harus memperbarui komunikasi NDC-nya (Updated NDC). Meskipun belum ada dokumen resmi, Indonesia telah menyatakan tidak akan meningkatkan ambisi mitigasi atau target pengurangan emisinya pada tahun ini. Indonesia juga tercatat belum menyerahkan target jangka panjang atau Long-Term Goal-nya.
Bagaimana Dampak Pemulihan Pasca-Pandemi terhadap Komitmen Iklim?
Penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin menyatakan bahwa pandemi Covid-19 bukan alasan kemunduran (backsliding) target penurunan emisi dalam NDC. Di sisi lain, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga mendorong pembangunan rendah karbon dalam fase kenormalan baru atau New Normal untuk mengurangi kerentanan Indonesia di masa depan.
Meskipun demikian, aturan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak secara eksplisit menyertakan prinsip “do no harm” terhadap lingkungan, termasuk iklim, dalam implementasinya. Oleh karena itu, implementasi Pemulihan Ekonomi Nasional justru berpotensi meningkatkan laju emisi GRK Nasional. Ditambah lagi, pendanaan aksi iklim dari APBN juga diperkirakan akan terpangkas oleh biaya penanganan Covid-19 yang jumlahnya mencapai Rp 695,2 T.
Selain tidak adanya green safeguards dalam aturan PEN, Pemerintah juga belum menjelaskan secara transparan berapa banyak porsi dana pemulihan ekonomi yang disalurkan untuk industri-industri tinggi karbon dan berapa yang disalurkan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Apabila dana pemulihan ternyata lebih banyak disalurkan untuk industri tinggi karbon, Indonesia berisiko tergelincir kembali ke pola lama, yaitu pembangunan ekstraktif tinggi karbon yang tidak berkelanjutan baik secara ekologis, sosial, maupun ekonomi.
Aturan Pemulihan Ekonomi Nasional harus diperkuat dengan prinsip “do no harm” terhadap lingkungan dan iklim serta hak-hak masyarakat.
Oleh karena itu, urgensi untuk mengawal dana Pemulihan Ekonomi Nasional agar selaras dengan tujuan pembangunan rendah karbon dan pencapaian komitmen Iklim Indonesia menjadi sangat tinggi. Aturan Pemulihan Ekonomi Nasional harus diperkuat dengan prinsip “do no harm” terhadap lingkungan dan iklim serta hak-hak masyarakat. PEN juga harus diprioritaskan untuk transisi menuju pembangunan rendah karbon dan diberikan untuk proyek-proyek pemulihan lingkungan yang menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan livelihood masyarakat (energi bersih, restorasi gambut, restorasi mangrove, reklamasi bekas tambang, rehabilitasi lahan kritis, dan perhutanan sosial, dsb. ), bukan untuk korporasi industri tinggi karbon yang akan melanggengkan pola pembangunan lama yang merusak lingkungan.