Perubahan iklim tidak bisa diatasi jika kawasan hutan tidak dijaga. Hal itu barangkali menjadi salah satu pesan tersirat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Jika dilihat dalam dokumen yang menjadi kitab suci Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim itu, sektor kehutanan mendapat kehormatan untuk menurunkan emisi hingga 17,2% dari total 29% penurunan emisi yang ditargetkan pada 2030. Terbesar dibanding energi (11%), limbah (0,38%), perindustrian (0,10)% dan pertanian (0,32%).
Jika dijabarkan lebih lanjut, maka sektor kehutanan harus bisa mengurangi emisinya hingga 497 MTon CO2e di tahun 2030. Angka ini berpeluang menjadi lebih tinggi, mengingat NDC Indonesia menyebut pengurangan emisi keseluruhan bisa mencapai 41% dengan dukungan internasional. Itu berarti emisi yang harus berkurang dari sektor kehutanan mencapai 650 MTon CO2e.
Target tersebut tidak akan mudah dilakukan, mengingat masih banyak ancaman di sektor kehutanan. Tercatat, dalam dokumen referensi level emisi kehutanan (Forest Reference Emission Level/FREL) Indonesia tahun 2016, ada tiga sumber emisi di sektor kehutanan, yaitu deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi gambut.
BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?
Dari tiga sumber tersebut, emisi dari sektor gambut selalu mengalami kenaikan, sementara dua sektor lainnya fluktuatif. Jika di tahun 1990 emisi dekomposisi gambut berjumlah 151.782.943 Ton CO2e, tahun 2012 emisi sektor ini naik menjadi 22.167.756 Ton CO2e.
Waspadai deforestasi
Meskipun fluktuatif, tapi deforestasi masih terus terjadi di Indonesia tiap tahun. Jika tidak diatasi, maka bentuk kerusakan ini dapat menggagalkan upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan.
Mengacu pada dokumen peta jalan (roadmap) NDC, pemerintah dengan tegas menetapkan deforestasi yang terjadi di tahun 2013-2030 tidak lebih dari 7,268 juta hektare. Angka ini setara dengan pengurangan rata-rata laju deforestasi sebesar 0,460 juta hektare per tahun.
Sementara selama tahun 2013-2017 sudah terjadi deforestasi sebesar 2,562 juta hektare di lahan mineral dan 0,743 juta hektare di lahan gambut. Dengan demikian, kuota deforestasi 2018-2030 hanya bersisa 3,963 juta hektare. Namun sisa kuota tersebut bisa menjadi 0,845 juta hektare lagi dalam skenario penurunan emisi 41%.
Jika tidak dikelola dengan benar, maka kuota ini bisa jadi akan habis sebelum 2030. Pasalnya, sumber deforestasi di Indonesia bermacam-macam, mulai dari alih fungsi kawasan hutan hingga kebakaran hutan dan lahan.
Untuk memperkuat upaya pengurangan dan pencegahan deforestasi, Madani berpendapat kebijakan moratorium izin baru perlu diperluas dan tidak hanya terbatas pada hutan primer dan gambut semata. Namun juga harus bisa mencakup perlindungan hutan alam yang berada di luar area moratorium.
Sawit dan karhutla
Masalah kelapa sawit memang tidak ada habisnya jika dibahas lantaran ekspansi kebunnya yang terus mencuri perhatian. Perkebunan kelapa sawit selama ini banyak yang membuka lahan dari areal yang masih berhutan. Ekspansi ini tentu saja masuk ke dalam konteks deforestasi.
Luas perkebunan kelapa sawit selalu bertambah setiap tahun. Jika pada tahun 1980 luasnya baru mencapai 294,56 ribu hektare, Kementerian Pertanian memperkirakan luas perkebunan kelapa sawit pada 2020 diperkirakan mencapai 14,99 juta hektare.
Ancaman deforestasi dari perkebunan kelapa sawit tidak berhenti sekalipun sudah tidak lagi mengonversi kawasan hutan. Penyebabnya tidak lain karena isu kebakaran hutan dan lahan di dalam kawasan konsesi perkebunan itu sendiri.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bisa dibilang terus terjadi setiap tahun, meskipun luasan dan lokasi kebakaran selalu berbeda-beda tiap tahunnya. Studi Madani tahun 2020 menemukan lebih dari 1 juta hektare area yang terbakar pada tahun 2019 merupakan wilayah kebakaran baru dalam periode 2015-2019.
Area yang baru terbakar ini merupakan 63,29% dari total area yang terbakar di tahun yang sama. Dan lokasi yang paling banyak terbakar berada di Kalimantan Tengah yang luasnya mencapai 2020.486,86 hektare, lalu Sumatera Selatan yang mencapai 185125,12 hektare dan Kalimantan Barat dengan luas area terbakar mencapai 125.058,60 hektare.
Menurunkan emisi di sawit
Dengan luas area yang terus bertambah, sektor perkebunan kelapa sawit sebenarnya bisa memainkan peranan penting dalam menurunkan atau menyerap emisi. Karena secara teori, banyak kegiatan di perkebunan yang dapat mengaplikasikan hal itu, seperti High Conservation Value (HCV) atau sistem agroforestry perkebunan kelapa sawit.
BACA JUGA: Untuk Capai Target NDC, Tiga Kelembagaan Perlu Dibentuk di Daerah
Banyak perkebunan kelapa sawit yang sudah memiliki dokumen HCV dan High Carbon Stock (HCS), namun sayangnya belum sampai pada dokumen penurunan emisi. Padahal, dokumen ini penting untuk mengukur upaya perkebunan kelapa sawit dalam menurunkan emisi.
Sementara jika hanya mengacu pada dokumen HCS tidaklah cukup. Karena dokumen ini hanya dibuat untuk mengetahui stok karbon pada suatu titik pada waktu studi pertama dilakukan. Dokumen itu tidak cukup untuk mengetahui perkiraan potensi emisi atau stok karbon pada taun 2030 laiknya dokumen NDC.
Untuk itu, di sinilah peran penting pemerintah diperlukan untuk membuat pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit berperan dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Pemerintah bisa mengawalinya dengan membuat kebijakan yang mewajibkan pemegang izin konsesi menurunkan emisi di kebun-kebun mereka.