Indonesia harus ambil peran strategis dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia. Hal itu karena Indonesia memiliki modal yang besar khususnya terkait lingkungan, hutan, dan alam, dibandingkan banyak negara lainnya untuk menjawab tantangan krisis iklim dunia yang makin nyata. Oleh karena itu, konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim PBB yakni the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) yang diselenggarakan pada 31 Oktober hingga 12 November harus diartikan sebagai peluang bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen iklim dalam upaya mengatasi krisis yang makin mendesak.
Tidak dapat dimungkiri, isu perubahan iklim makin lama makin menjadi pembicaraan global karena sifatnya yang begitu mendesak. Desakan dari ancaman krisis iklim ini bahkan telah disampaikan oleh lembaga Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyebut bahwa bumi akan segera berada dalam titik krusial terhadap krisis iklim karena ambang batas kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius akan tercapai dalam waktu dekat.
Berdasarkan laporan penilaian keenam (Sixth Assessment Report atau AR6) IPCC yang dirilis pada 9 Agustus 2021, terdapat beberapa fakta mengenai krisis iklim yang saat ini sedang terjadi, pertama, tidak ada keraguan lagi bahwa pemanasan global 100% disebabkan oleh aktivitas manusia.
Kedua, tingkat pemanasan global saat ini belum pernah terekam dalam sejarah dunia. Ketiga, Peningkatan suhu permukaan secara global sebesar 1,5˚C yang mungkin juga dapat mencapai 2˚C selama abad ke-21. Keempat, terjadinya perubahan ekstrim dari sistem iklim akibat pemanasan global seperti meningkatnya suhu secara ekstrim, gelombang panas laut, curah hujan yang tinggi, kekeringan, siklon tropis, serta mencairnya es di Laut Arktik.
Kelima, meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama CO2 sehingga menyebabkan penyerapan karbon menjadi kurang efektif dalam menghambat akumulasi CO2 pada atmosfer. Keenam, perubahan yang terjadi akibat emisi gas berdampak terutama pada lautan, lapisan es, dan permukaan laut secara global.
Komitmen Indonesia
Dalam menjawab tantangan krisis iklim dunia, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai regulasi seperti regulasi mekanisme perdagangan karbon di dalam negeri, kemudian, telah mengumumkan dan menyampaikan ambisi net zero pada 2060 sesuai submisi Updated Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Bukan hanya itu, Indonesia juga menyiapkan dan akan mulai menerapkan pungutan atas emisi karbon atau pajak karbon pada 2022 seiring dengan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP).
Berbagai regulasi tersebut tentu patut diapresiasi, namun, semua itu belum cukup untuk mempertegas posisi Indonesia sebagai patron dalam memerangi krisis iklim dunia.
Momentum COP26
Satu hal yang pasti yang harus dilakukan Indonesia bukan hanya konsistensi dalam upaya penanggulangan krisis, tapi juga memperkuat komitmen yang sudah ada karena upaya yang bussines as usual sudah tidak relevan di tengah situasi yang amat genting seperti saat ini.
BACA JUGA: Tingkatkan Kerja Sama Ekonomi Hijau, Presiden Jokowi dan PM Boris Johnson Sepakat Berkolaborasi
Maka daripada itu, ada dua hal yang wajib dilakukan pemerintah Indonesia melalui delegasi Indonesia di COP6. Pertama, mempertegas komitmen penanggulangan krisis iklim. Mempertegas itu bukan hanya soal kemampuan persuasif untuk menyampaikan rencana ke depan pemerintah Indonesia tapi juga kemampuan untuk dapat membuktikan hasil dari pekerjaan sebelumnya dan juga rasionalitas dari komitmen hijau yang makin diperkuat. Indonesia harus berani mengambil sikap dan berani melakukan perubahan.
Kedua, menciptakan, meningkatkan, dan memperbesar peluang kemitraan dan kolaborasi multipihak secara global. Komitmen yang kuat dalam mengatasi krisis iklim, tentu akan menciptakan kepercayaan bagi para calon mitra untuk berkolaborasi. Dengan begitu, peluang pendanaan dunia Internasional baik dari negara maju, lembaga donor, maupun dunia usaha yang juga mulai bergerak pada bisnis berkelanjutan, akan makin besar demi mencapai target yang diinginkan.
Kita harus sadar bahwa kapasitas keuangan negara tidak besar untuk peningkatan komitmen terhadap upaya mengatasi krisis iklim. Oleh karena itu, menggerakkan non state aktor untuk berkolaborasi adalah sebuah keniscayaan.
Indonesia harus menjadi negara yang mampu menjadi lahan kolaborasi bagi banyak pihak sehingga bukan hanya mampu mencapai target NDC Indonesia sendiri, tapi juga mampu mencapai target secara global karena makin besarnya keterlibatan para pemangku kepentingan dan banyak pihak lainnya di dunia.
COP26 adalah momentum yang tepat untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dunia dalam upaya mengatasi krisis iklim. Indonesia punya modal yang kuat, tapi modal itu tidak akan cukup tanpa komitmen besar dalam hal berkelanjutan tapi juga kolaborasi yang kuat dan harmonis secara global. Indonesia bisa selamatkan dunia!
Oleh: Delly Ferdian
Pegiat Lingkungan di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta